Kadang ada aja kejadian yang sebenernya kita ga mau kejadian itu terjadi atau ada tapi ternyata dia harus ada. Seperti saat ini, kejadian yang membuat gue gundah gulana dan terus bertanya, kenapa sih Tuhan, kenapa, tapi yaaa mungkin Tuhan pikir I deserve this. Gue percaya Tuhan lagi liat gue, Dia lagi liat gue lagi ngapain, itu kalo gue lagi nyadar, kalo lagi nyadar yaa akhirnya banyak banyak istighfar sambil yakin yang saat ini bikin gundah akan lewat walau ga tau dalam waktu berapa lama. Mau cerita kadang juga ga tau mau cerita sama siapa, ga guna juga kali, jadi ya ceritanya gini aja di sini, serius ga tau mau ngomong apa, yang gue tau gue harus kuat apapun yang bikin gundah gue harus bisa tetep mikir normal, ga bikin hal hal konyol dsb dsb, banyak istighfar, baca Quran dsb. C'est la vie :)
Jakarta, 19 Desember 2015
Sabtu, 19 Desember 2015
Jumat, 04 Desember 2015
Pemimpin dan Hati Nurani
Hari ini langit mendung dan saya bersuka cita karena saya lebih suka suasananya, adem, dingin, dan tidak akan ada matahari yang membuat saya penuh peluh saat berjalan kaki. Oooh…ternyata tidak hanya mendung, hujan turut menemaninya, walau tidak deras, dan tidak lama, tapi cukup membuat suasana teduh.
Semua berjalan baik, hingga saya membuka laman sebuah kampus di Jakarta yang mengadakan lomba menulis artikel dengan temaWe are The Future Leader sekonyong-konyong saya merasa tertegun sejenak, berpikir dan bertanya kepada diri saya sendiri, apakah saya sudah menjadi seorang pemimpin? Katanya, pemimpin itu tidak harus memiliki pengikut karena minimal seseorang itu dapat disebut seorang pemimpin bagi dirinya sendiri. Baiklah, jika saya memang adalah seorang pemimpin, apakah saya telah menjadi seorang pemimpin yang baik? Dalam tempo yang begitu cepat saya punya banyak pertanyaan di kepala dan tentunya ada sedikit-sedikit rasa sesal di dalam hati, mengapa di umur sekian rasanya saya masih berada di kondisi saya berada ini, mengapa saya tidak berbuat lebih sehingga saat ini saya sudah mencapai hal yang lebih. Selain pertanyaan, rasa sesal, muncullah rasa tidak puas akan apa yang telah saya lakukan dan saya capai. Walaupun mungkin apabila saya bercerita kepada teman-teman, mereka yang tahu saya lebih lama, mereka ada mengacungi jempol dengan pencapaian saya, menurut mereka apa yang saya capai adalah sudah termasuk luar biasa, namun hati kecil saya menyangkal dan berkata harusnya saya bisa berbuat lebih. Berhenti di situ sejenak.
Saya tertarik ikut dalam kontes menulis dengan tema We are The Future Leader tidak untuk mendapatkan hadiahnya, namun lebih karena saya ingin tulisan saya dapat dibaca dan bermanfaat untuk teman-teman pembaca. Saya ingin menuliskan begitu banyak hal, tapi saya harus cukup tahu diri bahwa makin ke sini waktu orang semakin sedikit, sehingga rasanya tulisan tentang We are The Future Leader tidaklah perlu dibuat panjang lebar dan rumit.
Kawan, saya pernah mendengar bahwa mereka yang sukses dan pada akhirnya lahir sebagai pemimpin yang benar-benar pemimpin adalah mereka yang memulai usaha mereka dengan niat membantu orang lain. Mereka memulai perjalanan kepemimpinan mereka dengan niat mulia bahwa mereka ingin menolong. Merekalah pemimpin yang memiliki hati nurani, tidak hanya pemimpin yang memikirkan diri sendiri dan keluarganya, atau bahkan kawan-kawan terdekatnya. Pemimpin yang baik adalah mereka yang rela berkorban untuk pengikut-pengikutnya, berani membela yang benar dan menghukum yang bersalah, dan berani juga bertanggungjawab atas kelalaian dan kesalahannya. Patut kita sadari, tidak lah mudah menjadi pemimpin karena pada hakekatnya tidak ada manusia sempurna, begitu pun pemimpin. Pemimpin, atau seseorang yang pada akhirnya bergelar pemimpin pastinya pernah juga mengalami pengalaman buruk atas kelalaian dan kesalahannya tadi, atau secara tidak langsung pengalaman yang dialaminya dan mau tidak mau membuatnya terlibat dalam sebuah masalah. Inilah yang kemudian membedakan, bagaimana menghadapi masalah sebagai bagian dari pengalaman hidup, apakah sekedar disesali atau kemudian diambil pelajarannya untuk menjadikan dia seorang yang lebih baik, karena seorang pemimpin pun harus mampu merendahkan hatinya dan mau berintrospeksi diri. Untuk semua itu, bercermin diri, introspeksi diri, tidak memikirkan diri sendiri, rela berkorban untuk pengikut pastinya, berani membela yang benar dan menghukum yang bersalah membutuhkan hati nurani. Marilah kita masing-masing melihat hati nurani kita. Mari kita mulai dari diri sendiri, berusaha menjadi individu yang lebih baik sehingga orang-orang di sekitar kita pun merasakan kebaikan yang kita miliki, dari situ barulah pelan-pelan kita berusaha membantu mengurangi beban orang lain, baik dengan ucapan, tulisan, pergerakan tangan, hingga pergerakan yang lebih besar yang dimulai dari hati nurani. In shaa Allah dengan niat baik dan diawali dari hati nurani, akan muncul pemimpin-pemimpin baru yang mampu memajukan bangsa ini, tidak hanya dari segi materi dan ekonominya, juga jiwanya.
Salam semangat dari saya, semoga tidak hanya ilmu dan harta yang berlimpah yang kita miliki, tapi juga hati yang luas dan jiwa besar yang siap membawa bangsa ini menjadi lebih dari yang dicita-citakan pemimpin kita terdahulu.
Jakarta, 11 Maret 2014
Adelina Fauzie
Rabu, 02 Desember 2015
Tidak Ada Kata Terlambat Untuk Sebuah Perubahan Menuju Kebaikan
Menurut sebuah
hadits, hati manusia seperti kita ini sangat mudah terbolak balik, bahkan lebih
cepat dia terbolak balik dibanding air yang sedang mendidih di dalam sebuah
bejana, karena itu supaya hati kita ini selalu baik kondisinya, selalu ingat
pada Allah misalnya, selalu ingin melakukan kebaikan, selalu mau menjauhi
kemunkaran, selalu berpikir positif tentunya kita harus minta kepada Sang Maha
Pemilik Hati, Pemilik hati kita ini bukanlah kita, namun Sang Maha Pencipta,
Allah Yang Mahaesa, Allah SWT. Allah jualah yang mampu membolak balikkan hati
ini, sebab itu ada pula doa doa yang kita patut panjatkan untuk meminta
kepadaNya agar senantiasa diberi hati yang kerap taat kepadanya, selalu tegak
di atas agama, begini bunyi doanya, ”
“Ya muqollibal qulub
tsabbit qolbi ‘alad dinika wa ‘ala tho’atika”.
“Wahai
dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku atas agama-Mu dan atas
ketaatan kepada-Mu”.
Tidak
mudah, tentu saja tidak mudah, doa kita pun belum tentu langsung dikabulkan, masih
saja godaan datang bertubi tubi, godaan yang kadang membuat kita lupa akan Yang
Mahapunya. Contohnya kita ini kan dilarang beghibah, tapi kalau sedang dengan
teman teman pasti ada saja berghibahnya, eh tapi ya, bergantung teman kita juga
loh, jadi kalau kita mendekatnya dengan yang senang berghibah ya bisa saja kita
pun jadi ikut-ikutan, tapi kalau kita dekat dengan orang yang tidak suka
berghibah insyaa Allah walaupun kita biasanya suka berghibah bisa loh pas
ketemu teman itu sama sekali tidak berghibah alias ngomongin orang. Lah terus
apa yang diomongin, ya hal hal lain misalnya bercerita tentang pengalaman atau
membahas rencana yang tentunya tidak menyentuh kehidupan orang. Ya namanya juga
usaha, usaha untuk tidak berghibah. Kita sekarang mulai berniat ya semoga
di setiap pertemuan dengan siapapun, kita selalu dipertemukan dengan orang
orang yang hatinya juga condong kepada Allah sehingga mereka pun adalah yang
berusaha melakukan yang terbaik di dalam hidupnya, termasuk berusaha
menghindari ghibah. Bismillaah, insyaa Allah niat kita untuk berubah menuju
kebaikan dan menomorsatukan Allah diridhoiNya, ingat, Allah itu Yang Mahatahu,
Dia Maha Melihat dan Maha Mendengar. Insyaa Allah hal hal baik yang terniatkan
tersembunyi di dalam hati sekalipun Allah tahu.
Catatan
ini ditulis di Jakarta, 14 November 2015 dalam kondisi pikiran banyak isinya,
maunya banyak, mau nulisnya juga banyak, tapi sementara baru ini saja yang
mampu dituangkan. Mudah mudahan nanti akan menulis lagi tentang banyak hal yang
ada di kepala ini yang kiranya bermanfaat untuk kita semua :)
Langganan:
Postingan (Atom)